Kamis, 01 Mei 2014

Teori Konflik Ralf Dahrendorf

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat.Dalam menyelesaikan masalah social dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya.Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Di zaman modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih berganti, kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disjungsi atau persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan mengakibatkan konflik.
Teori konflik ini menjadi relevan di saat ia mengkritik bahwa suatu masyarakat jika dalam fungsinya kemudian terjadi perubahan, perkembangan cenderung lebih lambat. Karena salah satu tokoh Ralf Dahrendorf menyebutkan bahwa masyarakat itu tidak selalu seimbang akan tetapi akan mengalami perubahan pada masyarakat itu sendiri. Sebagai landasan dasar teori Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel (seperti yang dilakukan Coser) melainkan membangun teori dengan separuh penolakan, separuh penerimaan dan modifikasi teori sosiologi Karl Marx.

B.        Rumusan Masalah
1. Teori konflik
2. Biografi Ralf Dahrendorf
3. Pandangan Teori Konflik Ralf Dahendorf
            4. Penyebab Konflik
C.        Tujuan
Agar para mahasiswa dapat memahami dan mengerti dari salah satu tokoh sosiologi yaitu Ralf Dahrendorf tentang teori konflik struktural yang membahas tentang bagaimana pengertian tersebut.Serta kita dapat mengetahui lebih dalam lagi satu masalah dalam teori sosiologi modern sehingga bisa diterapkan dengan menggunakan teori-teori para tokoh sosiologi tersebut.




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Teori Konflik
Sosiologi bukanlah ideologi, ia adalah seperangkat ide yang bertumpu pada posisi atau kedudukan sosial atau pengembangan tindakan sosial. Sesungguhnya sosiologi merupakan ilmu pengetahuan.Artinya, seperangkat ide-ide untuk menjelaskan kehidupan sosial.Faktor ide memiliki konsekuensi yang dapat mempengarughi penyelidikan, arah dan bentuk.Hal yang dapat di terima dari seperangkat ide dan pengetahuan juga di tetapkan oleh adanya aplikasi dari kriteria ilmu pengetahuan tersebut.
Salah satu cara sederhana untuk mendapatkan karakteristik suatu ilmu pengetahuan adalah dengan menggambarkannya secara konkrit. Untuk memperoleh gambaran suatu ilmu minimal dibutuhkan adanya kriteria substansi ilmu sosial secara konkrit. Artinya secara lebih tegas ialah apa yang menjadi pusat perhatian para pakar yang mengkhususkan diri pada suatu ilmu pengetahuan tertentu. Dengan demikian maka pusat perhatian suatu ilmu pengetahuan dapat dirinci degan mengemukakan variabel bebas dan variabel terikat.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat dan hubungan-hubungan antara pribadi-pribadidalam masyarakat tersebut.Lebih jelasnya setiap ilmu pengetahuan yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial, dibandingkan dengan sosiologi untuk memperoleh gambaran menyeluruh.[1]
Masyarakat yang menjadi sasaran ilmu sosial dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari berbagai aspek.Mulai dari aspek ekonomi yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan penggunaan barang dan jasa. Ilmu ekonomi berusaha bagaimana meningkatkan produksi bahan sandang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.Ilmu politik mempelajari suatu aspek khusus pula dari kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan kekuasaan.Sedangkan sosiologi memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek masyarakat yang bersifat umum, dan berusaha mendapatkan pola-pola umum darinya seperti halnya soal upaya untuk mendapatkan kekuasaan dibayangkan sosiologi sebagai salah satu bentuk konflik.Sehingga bermunculan berbagai upaya untuk menjelaskan teori-teori konflik tersebut.
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme structural dan akibat berbagai kritik.  Teori konflik ini berasal dari berbagai sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari simmel. Pada 1950an dan 1960an teori konflik menyediakan alternative terhadap fungsionalisme structural, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah digantika oleh berbagai macam teori Neo-Marxian.Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx.Masalah mendasar dari teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar structural fungsionalnya.Teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme structural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya.
B.     Biografi  Ralf Dahrendorf
Ralf Dahrendorf Lahir di Hamburg Jerman, pada tanggal 1 Mei 1929, Ralf Dahrendorf dibesarkan di Berlin. Ayahnya adalah politisi Demokrat Sosial, Gustav Dahrendorf.Seperti ayahnya, Ralf Dahrendorf adalah penentang aktif rezim Nazi dan meskipun masih anak sekolah, dia ditangkap dan ditahan di sebuah kamp di Frankfurt-an-der-Oder selama tahun terakhir Perang Dunia II. Dahrendorf kemudian berkomentar bahwa ia telah mengalami perasaan pembebasan dua kali dalam hidupnya: sekali ketika Tentara Merah membebaskan Berlin dan lagi ketika ia dan ayahnya diselundupkan keluar dari kota itu oleh Inggris.
Setelah perang mulai Dahrendorf terkenal sebagai seorang filsuf dan sosiolog. Dia membaca klasik dan filsafat di Universitas Hamburg, memperoleh gelar doktor pada tahun 1952, sebelum melakukan studi pascasarjana di bidang sosiologi di London School of Economics antara 1952 dan 1954, memperoleh gelar doktor kedua pada tahun 1956. Kembali ke Jerman, ia menjadi Profesor Sosiologi di Universitas Hamburg pada tahun 1958, dan kursi kemudian diadakan di Universitas Tbingen (1960-1965) dan di University of Konstanz (1966-1969), yang telah Wakil Ketua pendiri Komite (1964-1966).
Karir politik Dahrendorf dimulai di Jerman pada tahun 1968, ketika ia terpilih sebagai anggota Demokrat Bebas dari Baden-Wrttemberg Landtag (gedung parlemen negara bagian). Tahun selanjutnya dia dipilih untuk Bundestag, dan menjadi anggota dari Partai Demokrat Bebas pemerintah Willy Brandt koalisi Sosial Demokrat sebagai menteri kantor junior asing yang bergerak dalam urusan Eropa di bawah Menteri Luar Negeri Walter Scheel.
Pada tahun 1970, Dahrendorf meninggalkan politik dalam negeri untuk menjadi anggota dari Komisi Eropa. Awalnya bertanggung jawab untuk perdagangan luar negeri dan hubungan eksternal, ia mengambil penelitian, ilmu pengetahuan dan pendidikan portofolio pada tahun 1973. Setelah periode sebagai Komisaris Eropa, karir Dahrendorf adalah terutama akademis dan intelektual, dan bergeser dari Jerman ke Inggris.Dia adalah Direktur London School of Economics antara tahun 1974 dan 1984 (dan memang menulis sejarah Sekolah untuk menandai seratus di tahun 1995).Setelah periode singkat di Jerman, ia kembali ke Inggris pada tahun 1987, kali ini sebagai Warden College St Antonius, Oxford, posisi yang dipegangnya sampai pensiun pada tahun 1997.
Meskipun komitmen akademis, Dahrendorf sangat aktif dalam kehidupan publik di Inggris , melayani antara lain pada Komisi Masyarakat Hansard tentang Reformasi Pemilu (1975-76), Komisi Royal Pelayanan Hukum (1976-79) dan Komite untuk Meninjau Fungsi Lembaga Keuangan (1977-1980). Diberikan gelar kebangsawanan pada tahun 1982, Dahrendorf mengambil kewarganegaraan Inggris pada tahun 1988, dan pada tahun 1993 diciptakan rekan hidup, gaya Baron Dahrendorf Pasar Clare di Kota Westminster. Meskipun ia sebelumnya tidak pernah aktif dalam partai politik Inggris baru Lord Dahrendorf memilih untuk mengambil cambuk Demokrat Liberal di House of Lords.
Setelah anggota DPR, Dahrendorf segera memainkan peran aktif dalam politik Liberal Inggris. Pada tahun 1995 ia memimpin Komisi Penciptaan Kekayaan dan Kohesi Sosial, badan independen yang dibentuk oleh pemimpin Demokrat Liberal Paddy Ashdown (qv). Memang, salah satu hal yang ia berharap untuk melakukan pensiun dari St Antony adalah untuk menjadi lebih aktif dalam House of Lords, di mana ia menjadi anggota Komite Pilih pada Kekuasaan didelegasikan dan Deregulasi dan di tahun yang sama terkooptasi ke Select Committee on Masyarakat Eropa, Sub-Komisi A (bidang ekonomi dan keuangan, perdagangan dan hubungan eksternal), serta menjadi anggota dari Grup London All-Party.
Dahrendorf berhasil Baroness Seear (qv) sebagai Presiden Summer School Liberal dan peserta aktif dalam, Sekolah tahun 1998 pertama di bawah kepresidenannya. Ia menjadi Pelindung Liberal International (World Union Liberal) pada tahun 1987. Di samping direktur sekian banyak lainnya dan kegiatan amal – ia adalah Trustee dari Yayasan Bantuan Amal – pada tahun 1997 ia menjadi Direktur Bank Gesellschaft Berlin (Inggris) plc, sementara minatnya dalam hal Eropa berlimpah ditunjukkan oleh tempatnya di Dewan Pengawas Central European University di Budapest.[2]
Sebuah Fellow dari Akademi Inggris, Fellow Kehormatan dari LSE, Anggota Luar Negeri (Amerika) National Academy of Sciences, American Philosophical Society, Royal Irlandia Academy, Akademi Rusia ilmu, dan Polandia Academy of Sciences, Dahrendorf juga punya tahun 1998 dianugerahi dua puluh lima gelar doktor kehormatan dan telah dihiasi oleh tujuh negara, termasuk Grosses Bundesverdienstkreuz mit Stern und Schulterband Republik Federal Jerman pada tahun 1974. Dari tulisan-tulisan banyak nya, banyak diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, mungkin yang paling abadi adalah volume sosiologinya, Kelas dan Konflik Kelas , diterbitkan pada tahun 1959 (yang asli diterbitkan pada tahun 1957). Dahrendorf memiliki tiga anak perempuan dari istri pertamanya.Istri keduanya, Ellen, yang dinikahinya pada tahun 1980, adalah seorang sarjana sejarah Rusia.

C.     Teori Konflik Ralf Dahendorf

Istilah konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan.Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antaranggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. [3]

Teori konflik Ralf Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori Konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu usaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan lainnya atau memproleh kepentingan sebesar-besarnya.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya.

Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan merupakan teori dalam paradigma fakta sosial.Konflik mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel.Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja.Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan konflik. Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai sarana untuk meningkatkan integrasi sosial maka kalangan penganut teori konflik justru melihat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan “power” dan mengontrol bahkan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok lainnya.

Adapun asumsi yang mendasari teori sosial nonMarxian dibawa oleh Dahrendorf. Ralf Dahrendorf mempunyai pandangan lain dalam melihat konflik sosial. Bagi Dahrendorf, konflik di masyarakat disebabkan oleh berbagai aspek sosial. Bukan melulu persoalan ekonomi sebagaimana menurut Karl Marx.Aspek-aspek sosial yang ada di masyarakat ini kemudian terwujud dalam bentuk teratur dalam organisasi sosial.Konflik sosial merupakan sesuatu yang endemik dalam pandangan Dahrendorf.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik Dahrendorf dimana manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi yang menguasai orang atau kelompok yang tidak mendominasi. Teori konflik memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis.

Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.Dia menyebut otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi.Sumber struktur konflik harus dicari dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Karena memusatkan perhatian kepada struktur berskala luas seperti peran otoritas  itu, Dahrendorf ditentang para peneliti yang memusatkan perhatian pada tingkat individual.

Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci adalam analisis Dahrendorf.Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi.Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan.Artinya, mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka, bukan karena ciri-cri psikologis mereka sendiri.Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol ditentukan di dalam masyarakat.Terakhir, karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain.

Konflik yang terjadi antara pedagang Pasar Raya dengan Pemko Padang jika merujuk pada teori otoritas Dahrendorf, maka dapat disimpulkan bahwa Pemko Padang merupakan pihak pemegang otoritas sementara para pedagang adalah pihak yang tidak memegang otoritas.Dalam hal ini, pedagang berada pada posisi ketidakbebasan yang dipaksakan.Sementara itu, Pemko Padang didelegasikan kekuasaan dan otoritas.Maka dari itu, Pemko Padang memiliki kewenangan untuk mengelola pasar yang merupakan asset Negara.[4]

Proses sosial yang ditekankan dalam model konflik berlaku untuk hubungan sosial antara kelompok dalam (ingroup) dan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam (in-group) akan bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar (out-group) bertambah besar. Dengan adanya 2 sisi tersebut terjadi suatu bentuk integrasi yang kuat antara kelompok pedagang sebagai kelompok yang merasa dirugikan dengan pembuat kebijakan yaitu Dinas Pasar. Kelompok pedagang ini melakukan perlawanan dengan cara memperkuat in groupnya agar dapat melawan kebijakan dari Dinas Pasar.

Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap pendekatan yang pernah dominan dalam sosiologi, yaitu kegagalan dalam menganalisa masalah konflik sosial. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial itu merupakan kunci bagi struktur sosial. Dahrendorf telah berperan sebagai corong teoritis utama yang menganjurkan agar perspektif konflik dipergunakan dalam rangka memahami dengan lebih baik fenomena sosial.

Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu menjadi dua tipe. Kelompok semu (quasi group) merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Tipe yang kedua adalah kelompok kepentingan (interest group), terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas.Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.

Pada konflik pedagang Pasar Raya Padang dengan Pemko Padang ini, terjadi harapan peran yang disadari (kepentingan tersembunyi telah disadari).Kelompok kepentingan ini telah memiliki struktur organisasi dan tujuan yang jelas. Para pedagang yang terdiri dalam Asosiasi Pedagang Pasar menyadari kepentingan yang ia perjuangkan yakni mendapatkan tempat yang layak dan representative untuk berdagang dengan gratis.

D.    Penyebab Konflik

Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif.Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan.Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagain besar atau semua pihak yang terlibat.Penyebab konflik menurut Dahrendorf adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam.Jadi, konflik bukan hanya materi (ekonomi saja).

Dahrendorf memandang bahwa konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat konflik. Maka dari itu, unit analisis konflik adalah keterpaksaan yang menciptakan organisasi-organisasi sosial bisa bersama sebagai sistem sosial.Dahrendorf menyimpulkan bahwa konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu.Contohnya, kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya serta kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan dan kejahatan.Masing-masing tingkat tersebut saling berkaitan membentuk sebuah rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan perubahan, baik yang konstruktif maupun yang destruktif.

Dahrendorf memahami relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan.Ia mendefinisikan kekuasaan menjadi penyebab timbulnya perlawanan. Esensi kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga memungkinkan mereka yang memiliki kekuasaan memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari mereka yang tidak  memiliki kekuasaan. Jadi, konfik kepentingan menjadi fakta tidak terhindarkan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kekuasaan.

Dahrendorf menjelaskan penyebab konflik dalam 6 teori utama.Teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.Teori negosiasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak yang mengalami konflik.Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik fisik, mental maupun sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan dalam konflik.

Sementara itu, teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan.Teori kesalahpahaman antarbudaya berpandangan berbeda, teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dakan cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.Teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Dinamika konflik menurut Dahrendorf akan muncul karena adanya suatu isu tertentu yang memunculkan dua kelompok untuk berkonflik. Dasar pembentukan kelompok adalah otoritas yang dimiliki oleh setiap kelompok yaitu kelompok yang berkuasa dan kelompok yang dikuasai.Kepentingan kelompok yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaanya sedangkan kelompok yang dikuasai adalah menentang legitimasi otoritas yang ada.

Dahrendorf memandang wewenang dalam masyarakat modern dan industrial sebagai kekuasaan.Relasi wewenang yaitu selalu relasi antara super dan subordinasi.Dimana ada relasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu diharapkan mengontrol perilaku kelompok subordinasi melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan.Berbagai harapan tertanam relative permanent dalam posisi sosial pada karakter individual. Saat kekuasaan merupakan tekanan satu sama lain, maka kekuasaan dalam hubungan kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimasi.

Konflik yang terjadi bersumber pada perbedaan pendapat mengenai pembangunan kembali Pasar Raya Padang Inpres II, III dan IV setelah rusak pascagempa tanggal 30 September 2009.Perbedaan kepentingan menjadi latar belakang munculnya konflik pasar.Berbagai permasalahan dapat disimpulkan sebagai berikut.Pertama, terjadinya konflik antar warga Pasar Raya dengan Pemerintah disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan alternatif pembangunan Pasar Raya.Walikota sebagai pemimpin Pemko Padang, pertama kali melontarkan ide untuk membangun kembali Pasar Raya menjadi bangunan pasar yang modern (mall).Tujuan dari pembangunan tersebut agar bangunan Pasar Raya lebih nyaman untuk dijadikan tempat jual-beli. Sebab, pascagempa 2009 lalu Pasar Raya Padang semakin semrawut, saluran drainase tersumbat yang menyebabkan becek, sampah-sampah menumpuk, tata ruang pasar tidak terurus dan sebagainya.

     Isu kedua, bahwa pasar akan dibangun oleh investor. Kata investor merupakan sosok yang ditakuti oleh para pedagang. Mekanisme pasar sebagai pasar tradisional kemungkinan akan diganti dengan mekanisme bisnis dengan untung yang sebesar besarnya. Isu yang dibangun investor ditambah lagi dengan isu kurangnya ruang di dalam pasar.Para pedagang takut jika mereka tidak mendapatkan tempat berdagang setelah pasar modern dibangun.
Ketiga, perbedaan kepentingan tersebut telah melahirkan konflik yang nyata antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dengan warga pasar sebagai pihak yang dikuasai.Pemerintah ingin menggunakan otoritasnya sebagai pemegang kekuasaan dalam menentukan bentuk bangunan Pasar Raya. Alasan Kota Padang dimasa depan dan untuk menambah pemasukan PAD menjadikan landasan untuk menjadikan Pasar Raya menjadi pasar modern. Tragedi Sentral Pasar Raya (SPR) yang dibangun diatas terminal angkutan kota beberapa tahun lalu nyatanya telah menyingkirkan pedagang kecil. Para pedagang tidak ingin hal itu terulang lagi.Para pedagang takut jika pedagang besar dengan modal besar masuk dan membeli lahan di pasar yang baru.Pedagang pasar sebagai pihak yang dikuasai oleh pemda tidak lagi punya otoritas untuk menentangnya terlebih lagi untuk menagih janji.Warga pasar sebagai yang dikuasai berusaha untuk melawan pemegang kekuasaan.Konflik pun muncul ketika pemegang kekuasaan bertahan dalam menggunakan kekuasaannya.

Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik, yang berasal dari sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx.Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsionalnya.Teori konflik Ralf Dahrendorf menarik perhatian para ahli sosiologi Amerika Serikat sejak diterbitkannya buku “Class and Class Conflict in Industrial Society”, pada tahun 1959.

Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.

Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus.Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.

Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi ‘otoritas” selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis.Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda.Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak bersifat statis.Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan tertentu dan tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada lingkungan lainnya. Sehingga seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja menempati posisi superordinat pada kelompok yang lain.

Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa (orang yang berkuasa) dan orang yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan bawahan. Kelompok dibedakan atas tiga tipe antara lain : 1. Kelompok Semu (quasi group) 2. Kelompok Kepentingan (manifes) 3. Kelompok Konflik Kelompok semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam tipe kelompok kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan terdapat dalam dua perkumpulan yakni kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang dibawahi (bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan berbeda. Bahkan, menurut Ralf, mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama.

Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap mempertahankan status quo sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau bawahan ingin supaya ada perubahan.Dahrendorf mengakui pentingnya konflik mengacu dari pemikiran Lewis Coser dimana hubungan konflik dan perubahan ialah konflik berfungsi untuk menciptakan perubahan dan perkembangan. Jika konflik itu intensif, maka perubahan akan bersifat radikal, sebaliknya jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktural secara tiba-tiba. Menurut Dahrendorf,  Adanya status sosial didalam masyarakat (sumber konflik yaitu:   Adanya benturan kaya-miskin, pejabat-pegawai rendah, majikan-buruh) kepentingan (buruh dan majikan, antar kelompok,antar partai dan antar  Adanya dominasi Adanya ketidakadilan atau diskriminasi. agama).  kekuasaan (penguasa dan dikuasai).

Dahrendorf menawarkan suatu variabel penting yang mempengaruhi derajat kekerasan dalam konflik kelas/kelompok ialah tingkat dimana konflik itu diterima secara eksplisit dan diatur. Salah satu fungsi konflik atau konsekuensi konflik utama adalah menimbulkan perubahan struktural sosial khususnya yang berkaitan dengan struktur otoritas, maka Dahrendorf membedakan tiga tipe perubahan  Perubahan keseluruhan personel didalam posisi struktural yakni: Perubahan sebagian personel dalam posisi dominasi.

Penggabungan kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang berkuasa. Perubahan sistem sosial ini menyebabkan juga perubahan-perubahan lain didalam masyarakat antara lain  Munculnya kelas, Dekomposisi tenaga kerja, Dekomposisi modal:  menengah baru Analisis Dahrendorf berbeda dengan teori Marx, yang membagi masyarakat dalam kelas borjuis dan proletar sedangkan bagi Dahrendorf, terdiri atas kaum pemilik modal, kaum eksklusif dan tenaga kerja. Hal ini membuat perbedaan terhadap bentuk-bentuk konflik, dimana Dahrendorf menganggap bahwa bentuk konflik terjadi karena adanya kelompok yang berkuasa atau dominasi (domination) dan yang dikuasai (submission), maka jelas ada dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.

Sedangkan Marx berasumsi bahwa satu-satunya konflik adalah konflik kelas yang terjadi karena adanya pertentangan antara kaum pemilik sarana produksi dengan kaum buruh.Dahrendorf memandang manusia sebagai makhluk abstrak dan artifisial yang dikenal dengan sebutan “homo sociologious” dengan itu memiliki dua gambaran tentang manusia yakni citra moral dan citra ilmiah.Citra moral adalah gambaran manusia sebagai makhluk yang unik, integral, dan bebas.Citra ilmiah ialah gambaran manusia sebagai makhluk dengan sekumpulan peranan yang beragam yang sudah ditentukan sebelumnya.

Asumsi Dahrendorf, manusia adalah gambaran citra ilmiah sebab sosiologi tidak menjelaskan citra moral, maka manusia berperilaku sesuai peranannya maka peranan yang ditentukan oleh posisi sosial seseorang di dalam masyarakat, hal inilah masyarakat yang menolong membentuk manusia, tetapi pada tingkat tertentu manusia membentuk masyarakat. Sebagai homo sosiologis, manusia diberikan kebebasan untuk menentukan perilaku yang sesuai dengan peran dan posisi sosialnya tetapi di sisi lain dibatasi juga oleh peran dan posisi sosialnya di dalam kehidupan bermasyarakat.

Jadi ada perilaku yang ditentukan dan perilaku yang otonom, maka keduanya harus seimbang. Salah satu karya besar Dahrendorf “Class and class Conflict in Industrial Society” dapat dipahami pemikiran Dahrendorf dimana asumsinya bahwa teori fungsionalisme struktural tradisional mengalami kegagalan karena teori ini tidak mampu untuk memahami masalah perubahan sosial, terutama menganilisis masalah konflik.

Dahrendorf mengemukakan teorinya dengan melakukan kritik dan modifikasi atas pemikiran Karl Marx, yang berasumsi bahwa kapitalisme, pemilikandan kontrol atas sarana-sarana produksi berada di tangan individu-individu yang sama, yang sering disebut kaum borjuis dan kaum proletariat.

Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.[5]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Teori konflik Ralf Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori Konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu usaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan lainnya atau memproleh kepentingan sebesar-besarnya.
           
Dinamika konflik menurut Dahrendorf akan muncul karena adanya suatu isu tertentu yang memunculkan dua kelompok untuk berkonflik. Dasar pembentukan kelompok adalah otoritas yang dimiliki oleh setiap kelompok yaitu kelompok yang berkuasa dan kelompok yang dikuasai.Kepentingan kelompok yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaanya sedangkan kelompok yang dikuasai adalah menentang legitimasi otoritas yang ada.

Dahrendorf memandang wewenang dalam masyarakat modern dan industrial sebagai kekuasaan.Relasi wewenang yaitu selalu relasi antara sfuper dan subordinasi.Dimana ada relasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu diharapkan mengontrol perilaku kelompok subordinasi melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan.Berbagai harapan tertanam relative permanent dalam posisi sosial pada karakter individual. Saat kekuasaan merupakan tekanan satu sama lain, maka kekuasaan dalam hubungan kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimasi.

B.     Saran

Setelah mempelajari mengenai teori konflik dan penjabaran teori konflik menurut tokoh Ralf Dahendorf serta pengaplikasiannya dalam contoh masalah sehari-hari, maka penuli khususnya dan para pembaca pada umumnya dapat mengambil pelajaran dan menambah wawasan mengenai teori konflik Ralf Dahendorf.Sebagai mahasiswa sosial sudah seharusnya memandang suatu kejadian sosial dengan suatu teori sosial juga, sehingga pelajaran yang di dapat dapat ter aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.





DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George & Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 1997.
Pruit&Rubin dalam Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik  Kontemporer.(Jakarta:Kencana.2010)
























[1] Ritzer, George & Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 1997 hal 153
[2] http://naufanmboyz.blog.com/2013/03/13/biografi-ralf-dahrendorf/ diakses pada tanggal 5 November 2013 pukul 15:08 WIB
[3] http://analiliskonflikDahendorf.com diakses pada tanggal 2 November 2013 pukul 11:05 WIB
[4] http://Dahendorfteorikonflik.com di akses 5 November 2013 pukul 15:10 WIB
[5] Pruit&Rubin dalam Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik  Kontemporer.(Jakarta:Kencana.2010) hal 117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar